Selasa, 24 Agustus 2010

UANG SEPULUH RIBU MEMBUATKU BERSYUKUR


Uang Sepuluh Ribu Membuatku Bersyukur

Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. QS. Al Baqarah : 243

Ada seorang sahabat menuturkan kisahnya. Dia bernama Budiman. Sore itu ia menemani istri dan seorang putrinya berbelanja kebutuhan rumah tangga bulanan di sebuah toko swalayan. Usai mereka membayar semua barang belanjaan. Tangan-tangan mereka sarat dengan tas plastik belanjaan. Baru saja mereka keluar dari toko swalayan, istri Budiman dihampiri seorang wanita pengemis yang saat itu bersama seorang putri kecilnya. Wanita pengemis itu berkata kepada istri Budiman,

"Beri kami sedekah, Bu!" Istri Budiman kemudian membuka dompetnya lalu ia menyodorkan selembar uang kertas berjumlah 1000 rupiah.

Wanita pengemis itu lalu menerimanya. Tatkala ia tahu jumlahnya dan ternyata itu tidak mencukup kebutuhannya, ia kemudian menguncupkan jari-jarinya dan ia arahkan kearah mulutnya, kemudian ia memegang kepala anaknya dan sekali lagi ia mengarahkan jari-jari yang terkuncup itu ke arah mulutnya. Seolah ia berkata dengan bahasa isyarat,

"Aku dan anakku ini sudah berhari-hari tidak makan, tolong beri kami tambahan sedekah untuk bisa membeli makanan." Mendapati isyarat pengemis wanita itu, istri Budiman pun membalas isyarat dengan gerak tangannya seolah berkata, "Tidak... tidak, aku tidak akan menambahkan sedekah untukmu!" Ironisnya meski ia tidak menambahkan sedekahnya malah istri dan putrinya Budiman menuju ke sebuah gerobak gorengan untuk membeli cemilan.

Pada kesempatan yang sama Budiman berjalan ke arah ATM center guna mengecek saldo rekeningnya. Saat itu memang adalah tanggal dimana ia menerima gajian dari perusahaannya, karenanya Budiman ingin mengecek saldo rekeningnya. Ia sudah berada di depan ATM. Ia masukkan kartu ke dalam mesin tersebut. Ia tekan langsung tombol INFORMASI SALDO. Sesaat kemudian muncullah beberapa digit angka yang membuat Budiman menyunggingkan senyum kecil dari mulutnya. Ya, uang gajiannya sudah masuk ke dalam rekening. Budiman menarik sejumlah uang dalam bilangan jutaan rupiah dari ATM.

Pecahan ratusan ribu berwarna merah kini sudah menyesaki dompetnya. Lalu ada satu lembar uang berwarna merah juga, namun kali ini bernilai 10 ribu yang ia tarik dari dompet. Kemudian uang itu ia lipat menjadi kecil dan ia berniat untuk berbagi dengan wanita pengemis yang tadi meminta tambahan sedekah.

Budiman memberikan uang itu. Lalu saat sang wanita melihat nilai uang yang ia terima betapa girangnya dia. Ia berucap syukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Budiman dengan kalimat-kalimat penuh kesungguhan:

"Alhamdulillah... Alhamdulillah... Alhamdulillah... Terima kasih tuan! Semoga Allah memberikan rezeki berlipat untuk tuan dan keluarga.Semoga Allah memberi kebahagiaan lahir dan batin untuk tuan dan keluarga. Diberikan karunia keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Rumah tangga harmonis dan anak-anak yang shaleh dan shalehah. Semoga tuan dan keluarga juga diberi kedudukan yang terhormat kelak nanti di surga...!" Budiman tidak menyangka ia akan mendengar respon yang begitu mengharukan. Budiman mengira bahwa pengemis tadi hanya akan berucap terima kasih saja. Namun, apa yang diucapkan oleh wanita pengemis tadi sungguh membuat Budiman terpukau dan membisu. Apalagi tatkala sekali lagi ia dengar wanita itu berkata kepada putri kecilnya,

"Dik, Alhamdulillah akhirnya kita bisa makan juga....!" Deggg...!!! Hati Budiman tergedor dengan begitu kencang. Rupanya wanita tadi sungguh berharap tambahan sedekah agar ia dan putrinya bisa makan. Sejurus kemudian mata Budiman membuntuti kepergian mereka berdua yang berlari menyeberang jalan, lalu masuk ke sebuah warung tegal untuk makan di sana. Budiman masih terdiam dan terpana di tempat itu. Hingga istri dan putrinya kembali lagi dan keduanya menyapa Budiman. Mata Budiman kini mulai berkaca-kaca dan istrinya pun mengetahui itu.

"Ada apa Pak?" Istrinya bertanya. Dengan suara yang agak berat dan terbata Budiman menjelaskan:

"Aku baru saja menambahkan sedekah kepada wanita tadi sebanyak 10 ribu rupiah!" Awalnya istri Budiman hampir tidak setuju tatkala Budiman menyatakan bahwa ia memberi tambahan sedekah kepada wanita pengemis, namun Budiman melanjutkan kalimatnya:

"Bu..., aku memberi sedekah kepadanya sebanyak itu. Saat menerimanya, ia berucap hamdalah berkali-kali seraya bersyukur kepada Allah. Tidak itu saja, ia mendoakan aku, mendoakan dirimu, anak-anak dan keluarga kita.

Panjaaaang sekali ia berdoa! Dia hanya menerima karunia dari Allah Swt sebesar 10 ribu saja sudah sedemikian hebatnya bersyukur. Padahal aku sebelumnya melihat di ATM saat aku mengecek saldo dan ternyata di sana ada jumlah yang mungkin ratusan bahkan ribuan kali lipat dari 10 ribu rupiah. Saat melihat saldo itu, aku hanya mengangguk-angguk dan tersenyum. Aku terlupa bersyukur, dan aku lupa berucap hamdalah. Bu..., aku malu kepada Allah! Dia terima hanya 10 ribu begitu bersyukurnya dia kepada Allah dan berterimakasih kepadaku. Kalau memang demikian, siapakah yang pantas masuk ke dalam surga Allah, apakah dia yang menerima 10 ribu dengan syukur yang luar biasa, ataukah aku yang menerima jumlah lebih banyak dari itu namun sedikitpun aku tak berucap
hamdalah."

Budiman mengakhiri kalimatnya dengan suara yang terbata-bata dan beberapa bulir air mata yang menetes. Istrinya pun menjadi lemas setelah menyadari betapa selama ini kurang bersyukur sebagai hamba.

Ya Allah, ampunilah kami para hamba-Mu yang suka lalai atas segala nikmat-Mu.

(Diposting oleh Pak Ade Srilo untuk Milis Lentera Hati)

Jumat, 06 Agustus 2010

JANGAN BIARKAN AMALAN BERLALU SIA-SIA


Salah satu tujuan utama dalam beramal adalah mendapat pahala dari Allah ta’alla, lantas bagaimana jika amalan yang sangat diharapkan sebagai tabungan diakherat ternyata ‘kopong’ alias sia-sia dan tak tertulis sabagai amalan?

Bagaimana mungkin amalan akan diterima tatkala kita tidak mengetahui cara agar amalan bisa diterima dan mendapat ridho dari Allah? Apalagi jika barometer kesuksesan dalam beramal tatkala mendapat pujian belaka. Tak dapat diragukan lagi walaupun lisan ini mengatakan ‘Aku ikhlas’ namun ikhlas tak semudah hanya ucapan saja dan malahan perlu dicek lagi arti keikhlasannya. Baiklah marilah kita berusaha mengetahui kaidah-kaidah dalam beramal agar amalan kita tidak sia-sia. Dan ingatlah tak ada satu detik waktupun menjadi sia-sia dan berakhir penyesalan jika segera diikuti dengan taubat dan membenahi cara beramal dengan benar.

Amalan tidak lepas dari 2 hal yaitu ikhlas dan ittiba’.

● Ikhlas adalah niat dalam beramal, dan ikhlas merupakan ruh bagi amalan.
“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niat dan sesungguhnya setiap orang itu mendapatkan balasan sesuai dengan yang diniatkannya.” (Muttafaqun’alaihi)

● Iittiba’ adalah amalan hendaknya dilakukan sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ittiba’ ini laksana jiwa bagi amalan. Allah ta’ala berfirman,
“Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali Imran:31)

Kedua syarat tersebut jangan sampai tercecer, karena jika salah satu syarat hilang maka ia tidak benar (bukan amal shalih) dan tidak akan diterima di sisi Allah, diantara dalil yang memperkuat pernyataan tersebut,

“…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (Qs. AL Kahfi: 110)

Tidak Ikhlas Namun Ittiba’
Misalnya, melakukan shalat sesuai dengan rukun-rukun shalat yang telah dicontohkan Rasulullah, namun ditengah perjalanan shalat tersebut, ada orang yang melihat dan hati timbul rasa ingin memperbagus gerakan, memperlama waktu shalat, dll. Nah inilah perlu dipertanyakan keikhlasan shalatnya. Apakah shalat hanya mengharap wajah Allah ataukah disertai pula mengharap pujian orang lain?

Ikhlas Namun Tidak Ittiba’
Misalnya, mencari berkah dikuburan, mengkhususkan membaca surat Al Baqarah selama 10 hari setelah kelahiran bayi. Mungkin mereka ikhlas melakukannya, namun sayangnya tidak ada contoh dari Rasulullah dan perbuatan tersebut bisa dikatakan bid’ah.

Pada artikel ini penulis akan lebih memperinci mengenai syarat yang pertama yaitu berkaitan dengan keikhlasan. Hendaknya dalam beramal selain mengetahui syarat-syarat beramal juga mengetahui bagaimana caranya agar dapat mewujudkan syarat-syarat tersebut dengan mudah.

Untuk mewujudkan keikhlasan dalam beramal ada beberapa cara :
● Do’a. Berdo’alah agar setiap amalan ikhlas karena Allah. Sebagai manusia tak lepas dari riya’, pamer dan suka dipuji. Khalifah besar seperti Umar Ibnul Khattab radhiyallahu’anhum yang merupakan shahabat Rasul dan sudah dijanjikan surga kepadanya pun masih saja berdoa agar ikhlas dalam beramal. “Ya Allah jadikanlah amalku shalih semuanya dan jadikanlah ia ikhlas karena-Mu dan janganlah Engkau jadikan untuk seseorang dari amal itu sedikitpun.”
-Menyembunyikan amal. Sembunyikan amal seperti menyembunyikan keburukan, seperti perkataan Bisyr Ibnul Harits berkata, “Jangan kau beramal supaya dikenang. Sembunyikanlah kebaikanmu seperti kamu menyembunyikan kejelekanmu.”
● Memperhatikan amalan mereka yang lebih baik. Bacalah biografi-biografi dari para shahabat, tabi’in serta orang-orang terdahulu, sebagai suri teladan dalam beramal. Karena hidup di jaman sekarang ini terkadang dari penampakan terlihat bagus dan banyak yang meneladani, namun ternyata amalan-amalan bid’ah yang dilakukannya. Na’udzubillahi min dzalik
● Memandang remeh apa yang telah diamalkan. Terkadang manusia terjebak dengan godaan setan, yaitu melakukan sedikit amal dan merasa kagum dengan sedikit amal tersebut. Dan akibatnya bisa fatal, karena bisa jadi satu amal kebaikan bisa memasukkan manusia ke neraka. Seperti perkataan Sa’d bin Jubair, “Ada seseorang yang masuk surga karena sebuah kemaksiatan yang dilakukannya dan ada yang masuk neraka karena sebuah kebaikan yang dilakukannya. Seseorang yang melakukan maksiat setelah itu ia takut dan cemas terhadap siksa Allah karena dosanya, kemudian menghadap Allah dan Allah mengampuninya karena rasa takutnya kepada-Nya dan seseorang berbuat suatu kebaikan lalu ia senantiasa mengaguminya kemudian ia pun menghadap Allah dengan sikapnya itu maka Allah pun mencampakkannya ke dalam neraka.
● Khawatir kalau-kalau amalnya tidak diterima. Poin ini berkaitan dengan poin sebelumnya, bahwa lebih baik menganggap remeh amal yang telah diperbuat agar dapat menjaga hati ini dari rasa kagum terhadap amal yang telah diperbuat.
● Tidak terpengaruh dengan ucapan orang. Orang yang mendapat taufik adalah orang yang tidak terpengaruh dengan pujian orang. Ibnul Jauzy (Shaidul Khaathir) berkata, “Bersikap acuh terhadap orang lain serta menghapus pengaruh dari hati mereka dengan tetap beramal shaleh disertai niat yang ikhlas dengan berusaha untuk menutup-nutupinya adalah sebab utama yang mengangkat kedudukan orang-orang yang mulia.”
● Senantiasa ingat bahwa surga dan neraka bukan milik manusia. Manusia tidak dapat memberikan manfaat maupun menimpakan bencana kepada manusia, begitu pula manusia bukanlah pemilik surga maupun neraka. Manusia tidak bisa memasukkan manusia lain ke surga dan mengeluarkan manusia lain keluar dari neraka, lantas untuk apalagi beramal demi manusia, agar dipuji atasan, agar disanjung mertua, atau agar datang simpati dari manusia lain?

Ingatlah bahwa Anda akan berada dalam kubur sendirian. Jiwa akan menjadi lebih baik tatkala ingat tempat ia kembali. Bahwa ia akan beralaskan tanah dikuburnya sendiri, tak ada yang menemani, ingat bahwa manusia tidak dapat meringankan siksa kuburnya, seluruh urusannya berada ditangan Allah. Ketika itulah ia yakin bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkannya kecuali dengan mengikhlaskan seluruh amalnya hanya kepada Allah Yang Maha Pencipta semata.

Semoga kita senantiasa diberikan kemudahan oleh Allah untuk mengamalkan ilmu dengan disertai keikhlasan dalam mengamalkannya tersebut. Ingatlah bahwa hanya Allah yang dapat membolak-balikkan hati hamba-Nya.

Disusun ulang oleh: Ummu Hamzah Galuh Pramita Sari dengan sedikit editing
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
Rujukan:
Ikhlas Syarat Diterimanya Ibadah, penerbit Pustaka Ibnu Katsir
Langkah Pasti Menuju Bahagia, penerbit Daar An Naba’
Sucikan Iman Anda dari Noda Syirik dan Penyimpangan, penerbit Putaka Muslim

(Diposting oleh Pak Sapta untuk Milis Lentera Hati)

ETIKA BERBICARA MENURUT ISLAM


Etika Berbicara Menurut Islam
Oleh Ali Rif'an

Bagaimanakah sesungguhnya etika berbicara yang dianjurkan dalam Islam?

Pertama, ketika seorang Muslim berbicara hendaknya hanya untuk kebaikan (ma'ruf). Allah SWT berfirman, "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisik mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma'ruf…" (QS An-Nisa [4]: 114).

Kedua, jangan membicarakan semua apa yang didengar. Sebab, bisa jadi semua yang didengar itu menjadi dosa. Rasulullah SAW bersabda, "Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang, yaitu apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar." (HR Muslim).

Ketiga, berbicaralah tanpa ada rasa menggunjing (ghibah). "Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain." (QS Al-Hujarat [49]: 12). Menggunjing orang lain sangat dilarang dalam Islam. Sebab, orang yang menggunjing itu tidak lebih baik dari yang digunjing. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena bisa jadi mereka yang diolok-olok lebih baik dari mereka yang mengolok-olok…" (QS Al-Hujarat [49]: 11).

Keempat, berbicaralah seperlunya saja. Jangan membicarakan sesuatu yang tidak berguna. Rasulullah bersabda, "Termasuk kebaikan Islam-nya seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna." (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Kelima, berbicaralah dan jangan mendebat. Sabda Nabi, "Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa saja yang menghindari pertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar." (Muttafaq 'Alaih).

Keenam, berbicara dengan tidak memaksakan diri. "Dan sesungguhnya manusia yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku di hari kiamat kelak adalah orang yang banyak bicara, orang yang berpura-pura fasih, dan orang-orang yang sombong." (HR At-Tirmidzi).

Ketujuh, berbicaralah dengan tenang dan tidak tergesa-gesa. Aisyah RA pernah berkata, "Sesungguhnya Rasulullah apabila membicarakan suatu pembicaraan, sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya." (Muttafaq 'Alaih).

Sejatinya, Islam tidak melarang manusia untuk berbicara. Berbicara justru sangat dianjurkan jika mengandung manfaat dan kebaikan. Tetapi sebaliknya, sangat dilarang jika pembicaraan itu mengandung keburukan dan penyesatan. "Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir hendaknya ia berbicara yang baik-baik atau diam." (Al-Hadis).

(Sumber : Republik)
(Diposting oleh Pak Syabri untuk Milis Lentera Hati)

Rabu, 02 Juni 2010

JANGANLAH ENGKAU SAKITI KEDUA ORANGTUAMU


Penulis: Ummu Rumman
Muroja’ah: Ust. Abu Salman



Segala puji bagi Rabb alam semesta, shalawat dan salam atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus sebagai rahmat bagi alam semesta.

Saudariku muslimah…
Pernahkah engkau memperhatikan seorang anak kecil yang tengah bersama orang tuanya? Atau, ingatlah masa kecilmu dulu sampai masa sekarang.

Ingatlah betapa besar kasih sayang kedua orang tuamu kepadamu. Ingatlah betapa besar perhatian mereka akan tempat tinggalmu, makan dan minummu, pendidikanmu, serta penjagaan mereka pada waktu malam dan siang. Ingatlah betapa besar kekhawatiran mereka ketika engkau sakit hingga pekerjaan yang lain pun mereka tinggalkan demi merawatmu. Uang yang mereka cari dengan susah payah rela mereka keluarkan tanpa pikir panjang demi kesembuhanmu. Ingatlah kerja keras siang malam yang mereka lakukan demi menafkahimu. Niscaya engkau akan mengetahui kadar penderitaan kedua orang tuamu pada waktu mereka membimbing dirimu hingga beranjak dewasa.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan di dalam Al qur’an, agar manusia berbakti kepada kedua orang tuanya.

“Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya. Dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia, dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, sayangilah mereka keduanya, sebagaimana keduanya telah menyayangi aku waktu kecil.’” (Al Israa’: 23-24)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman dalam surat An Nisaa’ ayat 36, “Dan sembahlah Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak, kepada kaum kerabat, kepada anak-anak yatim, kepada orang-orang miskin, kepada tetangga yang dekat, tetangga yang jauh teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan dirinya.” (An Nisaa’: 36)

Jika kita perhatikan, berbuat baik kepada kedua orang tua seperti yang tercantum pada ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua menduduki peringkat kedua setelah mentauhidkan (mengesakan) Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam beribadah. Karena itu bisa kita pahami bahwa tidak boleh terjadi bagi seorang yang mengaku bertauhid kepada Allah tetapi ia durhaka kepada kedua orang tuanya, wal iyadzubillah nas alullaha salamah wal ‘afiyah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Menciptakan dan Allah yang Memberikan rizki, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang berhak diibadahi. Sedangkan orang tua adalah sebab adanya anak, maka keduanya berhak untuk diperlakukan dengan baik. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi seorang anak untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tuanya.

Saudariku, marilah kita belajar dari mulianya akhlaq para salaf dalam berbakti kepada kedua orang tuanya. Sesungguhnya dari kisah mereka kita dapat mengambil pelajaran yang baik. Dari Ibnu Aun diriwayatkan bahwa ia menceritakan, Seorang lelaki ada yang pernah menemui Muhammad bin Sirin di rumah ibunya. Ia bertanya, “Ada apa dengan Muhammad? Apakah ia sakit?” (karena Muhammad bin Sirin suaranya lirih hampir tak terdengar bila berada di hadapan ibunya. red). Orang-orang di situ menjawab, “Tidak. Cuma demikianlah kondisinya bila berada di rumah ibunya.”

Dari Hisyam bin Hissan, dari Hafshah binti Sirin diriwayatkan bahwa ia menceritakan, “Muhammad, apabila menemui ibunya, tidak pernah berbicara dengannya dengan suara keras demi menghormati ibunya tersebut.”

Dari Ibnu Aun diriwayatkan bahwa ia menceritakan, “Suatu hari ibunya memanggil beliau, namun beliau menyambut panggilan itu dengan suara yang lebih keras dari suara ibunya. Maka beliau segera membebaskan dua orang budak.”

Dari Muhammad bin sirin diriwayatkan bahwa ia menceritakan, pada masa pemerintahan Ustman bin Affan, harga pokok kurma mencapai seribu dirham. Maka Usamah bin Zaid bin Haritsah mengambil dan menebang sebatang pokok kurma dan mencabut umbutnya (yakni bagian di ujung pokok kurma berwarna putih, berlemak berbentuk seperti punuk unta, biasa dimakan bersama madu), lalu diberikan kepada ibunya untuk dimakan. Orang-orang bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau melakukan hal itu, padahal engkau tahu bahwa pokok kurma kini harganya mencapai seribu dirham?” Beliau menjawab, “Ibuku menhendakinya. Setiap ibuku menginginkan sesuatu yang mampu kudapatkan, aku pasti memberikannya.”

Saudariku, andaikan (kelak) kita menjadi orang tua, tidakkah kita akan kecewa dan bersedih hati bila anak kita berkata kasar kepada kita, orang tuanya yang telah membesarkannya. Lalu, apakah kita akan tega melakukannya terhadap orang tua kita saat ini? Mereka yang selalu berusaha meredakan tangis kita ketika kecil. Ingatlah duhai saudariku, doa orang tua terutama ibu adalah doa yang mustajab. Maka janganlah sekali-kali engkau menyakiti hati mereka meskipun engkau dalam pihak yang benar.

Dari Abdurrahman bin Ahmad, meriwayatkan dari ayahnya bahwa ada seorang wanita yang datang menemui Baqi’ dan mengatakan, “Sesungguhnya anakku ditawan, dan saya tidak memilki jalan keluar. Bisakah anda menunjukkan orang yang dapat menebusnya; saya sungguh sedih sekali.” Beliau menjawab, “Bisa. Pergilah dahulu, biar aku cermati persoalannya.” Kemudian beliau menundukkan kepalanya dan berkomat-kamit. Tak berapa lama berselang, wanita itu telah datang dengan anak lelakinya tersebut. Si anak bercerita, “Tadi aku masih berada dalam tawanan raja. Ketika saya sedang bekerja paksa, tiba-tiba rantai di tanganku terputus.” Ia menyebutkan hari dan jam di mana kejadian itu terjadi. Ternyata tepat pada waktu Syaih Baqi’ sedang mendoakannya. Anak itu melanjutkan kisahnya, “Maka petugas di penjara segera berteriak. Lalu melihatku dan kebingungan. Kemudian mereka memanggil tukang besi dan kembali merantaiku. Selesai ia merantaiku, akupun berjalan, tiba-tiba rantaiku sudah putus lagi. Mereka pun terbungkam. Mereka lalu memanggil para pendeta mereka. Para pendeta itu bertanya, ‘Apakah engkau memilki ibu?’ Aku menjawab, ‘Iya.’ Mereka pun berujar, ‘mungkin doa ibunya, sehingga terkabul’.”

Kejadian itu diceritakan kembali oleh al Hafizh Hamzah as Sahmi, dari Abul Fath Nashr bin Ahmad bin Abdul Malik. Ia menceritakan, aku pernah mendengar Abdurrahman bin Ahmad menceritakannya pada ayahku, lalu ia menuturkan kisahnya. Namun dalam kisahnya disebutkan, bahwa mereka berkata, “Allah telah membebaskan kamu, maka tidak mungkin lagi bagi kami menawanmu.” Mereka lalu memberiku bekal dan mengantarkan aku pulang.

(diposting oleh Pak Sapta untuk Milis Lentera Hati)

KETIKA RUH DICABUT


Oleh: Mochamad Bugi





Imam Ahmad dalam Musnad-nya, demikian juga Ibnu Hibban, Abu ‘Awanah Al-Isfirayaini dalam kitab Shahih keduanya, meriwayatkan dari Al-Manhal dari Zadan bin Al-Bara’ bin ‘Azib bahwa ia berkata, “Kami pernah pergi bersama Rasulullah untuk mengantar jenazah. Beliau duduk di atas kuburan dan kami duduk di sebelahnya. Kami diam dan tenang laksana di atas kepala kami terdapat seekor burung. Sambil menguburkan jenazah tersebut, Beliau berkata, “Aku berlindung diri kepada Allah dari siksa kubur.” Beliau mengucapkannya tiga kali.

Selanjutnya Beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang beriman jika akan pindah ke alam akhirat dan meninggalkan dunia, maka para malaikat itu turun kepadanya. Wajah mereka seperti matahari dan setiap dari mereka membawa wewangian dari surga dan kain kafan. Mereka duduk di dekat orang yang beriman sebatas pandangan kemudian malaikat pencabut nyawa duduk di dekat kepalanya dan berkata, “Wahai jiwa yang baik, keluarlah menuju ampunan dan keridhaan Allah.”

Rasulullah kemudian bersabda, “Ruh orang beriman pun keluar dari jasadnya seperti halnya air keluar dari mulut teko. Malaikat pencabut nyawa segera mengambilnya. Ketika ruh orang itu telah berada dalam genggamannya, para malaikat yang lain tidak membiarkan ruh orang beriman itu berada di tangan malaikat pencabut nyawa sekejap mata hingga kemudian mereka mengambilnya dan menaruhnya di atas kain kafan surga dan wewangian tersebut. Dari ruh orang beriman, keluarlah wewangian paling harum yang pernah ada di bumi.”

Kata Rasulullah selanjutnya, “Kemudian para malaikat naik membawa ruh orang beriman dan setiap kali mereka melewati para malaikat, maka mereka bertanya, “Ruh siapa yang harum ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah si fulan bin fulan,” sembari menyebutkan nama terbaik yang pernah menjadi sebutannya ketika di dunia hingga kemudian mereka berhenti di langit kedua. Mereka minta dibukakan bagi ruh tersebut kemudian dibukakanlah untuknya. Ruh tersebut disambut seluruh makhluk di langit kedua dan mereka mendekatkan ruh tersebut ke langit berikutnya hingga mereka membawa ruh itu tiba di langit di mana Allah berada. Allah kemudian berfirman, “Tuliskan kitab hamba-Ku ini dalam ‘Illiyyin, lalu kembalikanlah ia ke bumi. Sebab, dari bumi itulah Kami menciptakan mereka, ke dalamnya Kami kembalikan mereka, dan darinya pula Kami keluarkan mereka sekali lagi.”

Selanjutnya Rasulullah bersabda, “Dan sesungguhnya orang kafir itu jika meninggal dunia menuju ke akhirat, maka para malaikat turun kepadanya dari langit dengan wajah yang hitam dan membawa kain kafan kasar, lalu duduk di dekatnya sebatas pandangan.

Malaikat pencabut nyawa datang kepadanya dan duduk di dekat kepalanya lantas berkata, “Wahai ruh yang kotor, keluarlah menuju kemurkaan dan kemarahan dari Allah!” Lalu ruhnya berpisah dari jasadnya dan malaikat mencabutnya seperti mencabut besi pembakar dari wol yang basah. Selanjutnya malaikat pencabut nyawa mengambilnya dan jika sudah ia ambil, maka para malaikat yang lain tidak membiarkan ruh tersebut di tangannya sekejap mata hingga kemudian mereka meletakkannya di dalam kain kasar tersebut. Dari padanya keluar bau paling busuk yang pernah ada di muka bumi.

Para malaikat membawanya naik dan setiap kali mereka melewati malaikat, mereka bertanya, “Ruh busuk siapa ini?” Para malaikat menjawab, “Ini adalah si fulan bin fulan,” sembari menyebutkan sejelek-jeleknya nama yang dialamatkan kepadanya ketika di dunia. Ruh itu terus dibawa naik hingga sampai ke langit dunia. Ia meminta agar pintu langit itu dibuka, namun tidak juga dibukakan untuknya.

Kemudian Beliau membacakan firman Allah swt., “Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum.” (Al-A’raf: 40).

Allah swt. kemudian berkata, “Tuliskan kitabnya di Sijjin, di bumi yang terbawah!” Lalu ruh tersebut dilemparkan begitu saja. Selanjutnya Rasulullah membacakan firman Allah, “Barangsiapa menyekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (Al-Hajj: 31) [Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/287 dan 295) dan Abu Dawud (4753)]

(diposting Pak Mirzon untuk Milis Lentera Hati)
(sumber : masjid_annahl@googlegroups.com)

RESEP BERANI MENGHADAPI MATI


Oleh Dr H Mujar Ibnu Syarif MAg






Inna lillahi wa inna ilaihi raji`un. Indonesia kembali berduka. Dalam satu minggu terakhir ini bangsa dan negara Indonesia kehilangan dua orang putra dan putri terbaiknya. Pertama, Gesang Martohartono, sang maestro atau komponis kawakan Indonesia pada Kamis (20/5). Kedua, mantan ibu negara, Ny Hasri Ainun Habibie, almarhumah istri tercinta mantan presiden ketiga RI, Bacharuddin Jusuf Habibie, yang wafat pada Sabtu (23/5).

Kematian merupakan suatu keniscayaan, yang pasti akan datang menjemput setiap makhluk yang bernyawa. Dan ketika jadwal kematian telah tiba, tidak ada seorang pun yang dapat menundanya. "Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian." (QS Ali Imran [3]: 183). "Maka apabila telah tiba ajal mereka (waktu yang telah ditentukan), tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mereka dapat mendahulukannya." (QS An-Nahl [16]: 61).

Kematian bukanlah cara Allah SWT untuk menimpakan sesesuatu yang menyakitkan kepada umat manusia. Tetapi, kematian adalah undangan Allah, agar hamba-hamba-Nya yang beriman untuk segera datang menjumpai-Nya. Imam al-Ghazali menuturkan, ketika Malaikat Izrail datang hendak mencabut nyawanya, Nabi Musa AS, berkata, "Bagaimana mungkin Sang Kekasih akan tega menyakiti kekasih yang dicintai dan disayangi-Nya?"

Mendengar pertanyaan tersebut, Malaikat Izrail segera menghadap Allah guna memohon petunjuk-Nya untuk menjawab pertanyaan kritis Nabi Musa itu. Allah SWT memerintahkan Malaikat Izrail untuk kembali lagi menemui Nabi Musa. Ketika Nabi Musa mengajukan pertanyaan yang sama, malaikat Izrail menjawab, "Kekasih mana yang tidak sudi bertemu Kekasihnya, ketika Kekasihnya itu memintanya untuk segera menemuinya?"

Mendengar jawaban itu, dengan penuh keceriaan, Nabi Musa mengikhlaskan nyawanya kembali ke hadirat-Nya. Dari narasi tersebut jelas tergambar bahwa pada hakikatnya kematian merupakan undangan Allah, supaya orang-orang beriman yang dikasihi-Nya, segera datang menjumpai-Nya.

Karena itu, pada suatu pagi, ketika dikunjungi Malaikat Izrail di saat sakit, Nabi Muhammad SAW dengan bertanya kepada Malaikat Izrail, "Maksud kedatanganmu ke rumahku pagi ini, hanya untuk berziarah ataukah untuk mencabut nyawaku?" "Aku datang untuk berziarah sekaligus juga untuk menjemputmu, bila engkau mengizinkannya. Tapi aku akan segera kembali, bila engkau keberatan kujemput hari ini. Ya, Rasul Allah, sampaikanlah kepadaku, apa yang kau ingin kulakukan untukmu hari ini," pinta Malaikat Izrail.

"Pertemukanlah aku dengan Tuhanku sekarang juga!" jawab Nabi SAW tanpa ragu. Orang yang bertakwa kepada Allah, tak perlu merasa takut dengan kematian. Sebab, saat itu pasti akan tiba. Dan saat kematian datang, maka mereka akan tersenyum bahagia, kendati ia akan dilepas dengan derai air mata oleh orang-orang yang menyayanginya.
Bagi orang yang bertakwa, kematian merupakan kesempatan terbaik untuk bertemu dengan Allah. Karena, itulah kebahagiaan yang sesungguhnya. "Sesungguhnya akhirat itu lebih baik untukmu daripada dunia" (QS Al-Dhuha ;93]: 4).

(diposting Pak Taqyuddin untuk Milis Lentera Hati)
(sumber : daarut-tauhiid@yahoogroups.com)

Selasa, 20 April 2010

KUNCI SURGA YANG TERBUANG


Bila semua ibadah kita seperti shalat, puasa, sedekah, dan haji, berjalan bagus. Maka, kelak di akhirat akan diberikan semacam tiket atau kunci untuk masuk surga. Tatkala banyak orang masuk surga, ternyata kita tidak dapat memasukinya, padahal sudah mempunyai tiket untuk memasukinya.

Apakah sebabnya? Padahal, amal kebaikan yang telah kita kumpulkan, bila dihitung jumlahnya sangat banyak. Namun, kenapa bukan surga yang didapatkan, dan sebaliknya malah neraka yang menjadi tempat kita? Itulah kunci surga yang terbuang.

Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali persaudaraan.'' Karena itu, walaupun amal kebaikannya banyak, jika memutuskan hubungan silaturahim dengan sesama Muslim, dia akan ditempatkan di neraka.

Mengapa demikian? Karena manusia punya penyakit hati atau sok. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ali Ridla dikatakan bahwa ketika sedang berkumpul dalam suatu majelis bersama murid-muridnya (hawariyyun), Nabi Isa AS menceritakan kelebihan yang diberikan Allah SWT padanya. Seperti menyembuhkan penyakit kusta dan menghidupkan orang mati dengan izin Allah.

Namun demikian, kata Isa AS, ada satu jenis penyakit yang ia tak mampu menyembuhkannya. Murid-muridnya bertanya jenis penyakit tersebut. Isa menjawab, penyakit itu adalah penyakit hati (sok).

Nabi Isa AS menjelaskan, penyakit sok memiliki ciri khas, yaitu merasa lebih dari yang lain. Merasa lebih cantik, ganteng, hebat, kaya, kuasa, dan benar. Selain itu, orang yang sok itu juga suka membantah (ngeyel), dan ngotot (tak mau kalah).

Imam Al-Ghazalie mengategorikan orang tersebut sebagai Laa Yadri wa Laa Yadri 'Annahu Laa Yadri (orang bodoh tidak menyadari bahwa dirinya bodoh). Inilah orang bodoh yang merasa pintar. Dia tidak menyadari bahwa sesungguhnya dirinya bodoh, namun ia tidak mau belajar agar menjadi lebih pintar.

Jika manusia sudah mengidap penyakit sok ini, dia tidak akan pernah menyadari kesalahannya. Ia selalu merasa benar, padahal nyata-nyata salah dan ia tidak mau meminta maaf atas kesalahannya.

Jika masing-masing pihak merasa paling benar, maka akan mulai terputuslah tali silaturahim, dan ia tidak berhak mendapatkan surga kendati sudah memiliki kuncinya. Laa yadkhulu al-Jannata Qaththi'un al-Rahim (Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan silaturahim).

Allah berfirman, ''Sejelek-jelaknya makhluk (binatang) di sisi Allah adalah mereka yang pekak dan tuli (sok), yang tidak mengerti apa pun.'' (QS Al-Anfal [8]: 22). Wa Allahu a'lam.

Sumber : koran.republika.co.id
(Diposting oleh Pak Mirzon untuk Milis Lentera Hati)

HIDAYAH MELALUI ANAKKU


Sahibul hikayat dalam kisah ini adalah warga Madinah Nabawiyah, ia menuturkan sebagai berikut :

Aku adalah seorang pemuda umur 37 tahun, telah berkeluarga dengan beberapa anak.
Aku telah banyak melakukan yang diharamkan Allah. Jarang sekali shalat berjamaah, kecuali pada momen-momen tertentu saja, sekadar formalitas di mata orang lain.
Hal itu disebabkan karena aku merasa sebagai orang jahat. Setan selalu mengikatku setiap saat.

Anakku berumur 7 tahun, namanya Marwan, ia tuli dan bisu, tetapi ia telah banyak mereguk nilai-nilai keimanannya dari istriku.

Pada suatu malam aku dan Marwan sedang berada di rumah, aku mulai merencanakan apa yang akan aku lakukan malam ini bersama teman-teman, dan di mana lokasinya.

Saat itu selepas shalat Maghrib, dengan bahasa isyarat anakku mengatakan sesuatu, aku sangat paham kalau dia mengingatkan diriku untuk shalat : "Mengapa Bapak tidak shalat?", begitu kira-kira yang ingin dikatakannya. Kemudian ia mengangkat kedua tangannya ke langit, lagi-lagi dengan isyarat ia mengultimatum bahwa Allah akan melihatku.

Terkadang aku kepergok anakku sedang berbuat kemunkaran, aku takjub dengan bahasa isyaratnya, ia menangis di depanku, lalu aku segera merangkulnya, tapi ia lari dariku, ia segera lari ke tempat wudhu, lalu datang kembali menghampiriku seraya memberi isyarat agar jangan pergi dahulu, tiba-tiba ia shalat di depanku kemudian ia bangun dan bergegas mengambil mushaf dan meletakkannya di hadapanku, lalu ia membukanya dengan hanya sekali buka, kemudian jari telunjuknya menunjuk kepada salah satu ayat dalam surat Maryam : Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan. (QS. Maryam: 45)

Setelah itu anakku langsung menangis, dan aku pun spontan ikut menangis, lalu ia bangun dan mengusap air mataku, kemudian ia mencium kepala dan tanganku, dan lagi-lagi dengan bahasa isyarat ia berkata kepadaku : "Wahai ayahku shalatlah sebelum engkau dimasukkan ke dalam liang lahat, dan engkau akan menuai azab."

Demi Allah aku sangat takut dan gemetar, tak ada yang mengetahui keadaanku saat itu kecuali Allah, aku segera bangun, aku seperti orang bingung keluar masuk kamar. Sementara Marwan, anakku, terus menguntit sambil terus menatapku dengan tatapan yang aneh, lalu ia berkata : "Ayo, Ayah ke masjid Besar!", maksudnya masjid Nabawy.

"Tidak ah, ke masjid dekat rumah saja", bujukku kepadanya.
Anakku tetap bersikeras mengajak ke Masjid Nabawy, aku pun segera menggandeng tangannya menuju masjid Nabawy, aku masih takut dan gemetar, sementara anakku seperti tidak berhenti sekejap pun menatapku.

Sesampainya di masjid Nabawy, aku segera menuju Raudah yang saat itu telah penuh sesak dengan manusia menjelang shalat Isya. Pada saat shalat Isya aku mendengar sang Imam membaca salah satu ayat berikut : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. An Nuur: 21)

Aku tak mampu menguasai gelora jiwaku, aku tak kuasa menahan tangisku, aku menangis dan Marwan pun ikut menangis karena mendengar tangisku. Di tengah shalat Marwan mengeluarkan sapu tangan dari saku bajuku lalu mengusap air mataku.

Selepas shalat aku masih tetap menangis, sementara Marwan terus mengusap air mataku, tidak terasa aku telah bersimpuh di masjid Nabawy selama satu jam penuh, sehingga anakku berkata : "Sudahlah Ayah, jangan takut!"

Kami pun bergegas pulang ke rumah, malam itu terasa malam yang paling indah dalam hidupku, aku seperti dilahirkan kembali ke dunia, istriku pun kemudian hadir di dekatku, juga anak-anakku. Kami semua menumpahkan tangis, meski anak-anakku yang lain tidak mengerti apa yang terjadi. Lalu Marwan berkata : "Ayah tadi shalat di Masjid Nabawy." Kulihat istriku gembira karena buah tarbiyahnya terbukti.

Aku ceritakan kepada istriku apa yang telah dilakukan Marwan terhadapku, aku katakan kepadanya : "Demi Allah aku ingin tanya kepadamu, apakah engkau telah mendikte Marwan membuka Mushaf dan menunjuk salah satu ayat dalam surat Maryam yang ditunjukkan kepadaku?"
Tetapi istriku bersumpah demi Allah sampai tiga kali. Kemudian istriku berucap : "Alhamdulillah atas segala hidayah ini."

Malam itu adalah malam yang paling berkesan. Sejak saat itu aku pun tidak pernah tinggal shalat berjamaah di masjid. Dan aku mulai memisahkan diri dari teman-teman burukku dan telah merasakan kelezatan iman. Seandainya Anda melihatku saat itu Anda akan dapat melihat hal itu dari wajahku.

Sejak peristiwa itu hidupku terasa bahagia, penuh cinta dan harmonis antara aku, istri, dan anak-anakku, khususnya anakku Marwan yang tuli dan bisu. Cintaku sangat besar kepadanya. Bagaimana tidak! Dari kedua tangannyalah tersuguhkan kepadaku hidayah Allah SWT.

Akhukum Abu Marwan
Madinah Al-Munawwarah

Disadur dari kitab Al-Aiduna ilallah
(Diposting oleh Pak Mirzon untuk Milis Lentera Hati)

Minggu, 18 April 2010

RAHASIA JAYA DI USIA SENJA


Orang yang lanjut usia sering kali dianggap beban bagi keluarga daripada tumpuan. Kita juga sering mendengar dan menyaksikan, baik dari media cetak maupun elektronik --bahkan dalam kehidupan sehari-hari-- ulah dan kenakalan para lansia. Semakin tua, semakin buruk perangainya. Padahal, bagi mereka itu telah banyak kenikmatan yang dikurangi oleh Allah SWT.

Syahdan, suatu ketika Ma'an bin Zaidah mendatangi Al-Makmun. Al-Makmun bertanya, "Bagaimana keadaanmu di usia tua renta ini?" Ia menjawab, "Aku bisa jatuh hanya karena tersandung kotoran unta, dan cukup diikat hanya dengan sehelai rambut."

Al-Makmun bertanya lagi, "Bagaimana tanggapanmu terhadap makanan, minuman, dan tidurmu?" Ia menjawab, "Bila lapar, aku marah; dan bila makan, aku merasa jengkel; bila berada di antara orang-orang, aku mengantuk; dan bila di atas kasur, aku terjaga."

"Bagaimana pendapatmu tentang para wanita?" Ia menjawab, "Kalau wanita yang buruk rupa, aku tidak menginginkan mereka; sedangkan para wanita yang cantik, mereka tidak menginginkanku." Al-Makmun berkata, "Kalau begitu, tidak pantas orang sepertimu dianggap muda."

Sungguh amat keterlaluan bagi orang-orang yang sudah lanjut usia, tapi masih juga melakukan maksiat. Rasulullah SAW bersabda, "Allah SWT tidak akan menerima dalih seseorang sesudah Dia memanjangkan usianya hingga 60 tahun." (HR Bukhari).

Oleh karena itu, Allah memberi pujian kepada mereka yang berusia senja, tapi masih tetap menjaga keimanannya. Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah menyampaikan firman Allah SWT, "Demi kemuliaan-Ku, keagungan-Ku, dan kebutuhan hamba-Ku kepada-Ku, sesungguhnya Aku merasa malu menyiksa hamba-Ku, baik laki-laki maupun perempuan, yang telah beruban karena tua dalam keadaan Muslim."

Tua dalam keadaan Muslim yang dimaksud dalam hadis Qudsi di atas adalah orang yang panjang umurnya dan baik amal perbuatannya. Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik orang di antara kalian ialah yang panjang umurnya dan baik pula amalannya." (HR Tirmidzi).

Dengan demikian, kebahagiaan di akhirat harus dicapai dengan bekal pahala yang banyak dari amal saleh yang sebanyak-banyaknya. Rasulullah telah memberikan resep tentang amal yang pahalanya akan terus mengalir meskipun kita sudah meninggal dunia.

Rasul SAW bersabda, "Apabila seorang anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang senantiasa mendoakan orang tuanya." (HR Muslim). Inilah rahasia keberkahan usia yang terus bertambah, dan tetap mengalir pahala kebaikannya. Ibarat sebuah aset, kita tinggal menikmati keuntungan dan kejayaan kita.

(sumber : Republika Online)

NODA YANG MENGHANCURKAN IBADAH


Banyak orang beranggapan bahwa kualitas ibadah hanya ditentukan oleh syarat, rukun, dan kekhusyukan dalam pelaksanaannya. Misalnya, shalat yang berkualitas adalah yang didahului oleh wudlu yang benar, suci pakaian dan tempatnya, serta khusyuk dalam melakukan setiap rukunnya. Demikian pula dengan ibadah-ibadah yang lain.

Saad bin Abi Waqqash RA bertanya kepada Rasulullah SAW tentang rahasia agar ibadah dan doa-doanya cepat dikabulkan. Rasul SAW tidak mengajari Sa'ad tentang syarat, rukun, ataupun kekhusyukan. Rasul mengatakan, "Perbaikilah apa yang kamu makan, hai Sa'ad." (HR Thabrani).

Ada sindiran yang hendak disampaikan Rasulullah SAW lewat hadis di atas. Yaitu, bahwa kebanyakan manusia cenderung memperhatikan 'kulit luar', tapi lupa akan hal-hal yang lebih urgen dan fundamental.

Setiap Muslim pasti mengetahui bahwa shalat atau haji mesti dilakukan dengan pakaian yang suci. Pakaian yang kotor akan menyebabkan ibadah tersebut tidak sah alias ditolak. Namun, betapa banyak di antara kaum Muslim yang lupa dan lalai bahwa makanan yang diperoleh dari cara-cara yang kotor juga akan berujung pada ditolaknya ibadah dan munajat kita.

Rasul SAW telah mengingatkan, "Demi Zat Yang menguasai diriku, jika seseorang mengonsumsi harta yang haram, maka tidak akan diterima amal ibadahnya selama 40 hari." (HR Thabrani).

Dalam hadis lain yang dinukil Ibnu Rajab al-Hanbali, Rasul SAW bersabda, "Barangsiapa yang di dalam tubuhnya terdapat bagian yang tumbuh dari harta yang tidak halal, maka nerakalah tempat yang layak baginya."

Di sinilah terlihat dengan jelas, korelasi antara kualitas ibadah dan sumber penghasilan. Bahkan, karena ingin memastikan bahwa semua yang dikonsumsi berasal dari sumber yang halal, para Nabi dan Rasul menekuni suatu pekerjaan secara langsung untuk menghidupi diri dan keluarga mereka.

Nabi Dawud adalah seorang pandai besi dan penjahit, Nabi Zakaria seorang tukang kayu, Rasulullah SAW adalah seorang pedagang, dan seterusnya. Demikian pula dengan para sahabat yang mulia; mayoritas kaum Muhajirin berprofesi sebagai pedagang, sementara kaum Anshar mengandalkan hidupnya dari pertanian.

Lebih dari itu, ketika seseorang bergelimang harta haram, dan ia menafkahi keluarganya dengan harta tersebut, sebenarnya ia tidak hanya menodai ibadahnya sendiri. Tapi, juga menodai ibadah dan masa depan anak-istrinya.

Seperti komentar Syekh 'Athiyah dalam Syarh al-Arbain an-Nawawiyah, "Orang tua seperti itu secara sengaja membuat ibadah dan doa anak-anaknya tertolak. Sebab, ia menjadikan tubuh mereka tumbuh dari harta yang haram." Wa Allahu a'lam

(sumber : Republika Online)

Jumat, 02 April 2010

AGAR ISTRI BERSAHABAT DENGAN MERTUA


ADA kesan buruk dalam relasi seorang wanita atau istri dengan mertuanya (orangtua suaminya). Banyak wanita meletakkan hubungannya dengan mertuanya dalam relasi yang antagonis. Sering kita menemukan para istri yang menaruh curiga dan prasangka buruk kepada ayah atau ibu mertuanya dalam banyak hal.

Tak heran jika banyak wanita, sebelum memasuki kehidupan rumah tangga, menyusun di dalam benaknya berbagai cara yang mesti ditempuhnya dalam menghadapi ayah dan ibu mertuanya nanti, supaya dia dapat menghindari kelicikan-kelicikan keduanya. Dia akan senantiasa mengawasi setiap kata yang diucapkan ayah atau ibu mertuanya dan mengawasi setiap gerak-gerik yang dilakukannya serta menyusun cerita-cerita dan isu-isu mengenainya.

Sehingga kemudian terjalinlah benang-benang kebencian di antara keduanya, lantas terjadilah pembangkangan dan kedurhakaan terhadap orangtua. Tak ayal, hilanglah keberkahan dan kebaikan dalam berumahtangga. Yang menjadi penyebab kurang harmonisnya hubungan mertua-menantu, menurut Anna Surti Ariani, seorang psikolog keluarga –sebagaimana dikutip dari situs Radio Nederland Wereldomroep— pada saat kita mencintai seseorang, itu tidak satu paket dengan mencintai orang tua dia. Masih menurut Anna Surti, friksi paling sering adalah antara menantu perempuan dan mertua perempuan. Dan friksi itu bertambah kalau sudah menyangkut pendidikan anak atau cucu.

Tentunya, hal-hal yang tidak diinginkan seperti di atas haruslah dilenyapkan demi kehidupan rumah tangga yang bahagia. Di dalam bukunya, Kaifa Takuni Imra`ah Jamilah wa Mahbubah, Ru’a Yusuf menuliskan beberapa tips bagi seorang istri agar bisa menjalin hubungan harmonis dan komunkasi baik dengan mertuanya, yaitu:

1. Dia harus mengusir citra buruk tentang ibu mertuanya dari benaknya dan memosisikan ibu suaminya itu tak ubahnya ibunya sendiri. Jika suatu hari ibu mertuanya berbuat kesalahan kepadanya, maka dia harus memperlakukannya sama seperti dia memperlakukan ibunya sendiri, ketika ibunya bersalah kepadanya.
2. Dia tidak boleh menceritakan kepada suami segala sesuatu yang terjadi antara dia dengan ibu suaminya sambil menangis atau bercucuran air mata untuk menarik simpati suaminya. Karena dikhawatirkan setan akan mengintervensi sang suami dengan membisikkannya bahwa ibunya bertindak zalim dan sewenang-wenang, dan memicu kedurhakaan.
3. Seorang istri yang baik tidak akan melarang suaminya untuk memberikan sesuatu kepada ibunya (ibu mertuanya). Bahkan dia akan mendorong suaminya untuk banyak memberi kepadanya ibunya dan dia pun akan berusaha memberi mertuanya berbagai pemberian dan hadiah berharga lainnya.
4. Jika dia mengunjungi ibu mertuanya, ada baiknya dia menampakkan perhatian dengan membawa masakan atau makanan. Dia merasa enggan menjadi tamu yang merepotkan atau menyusahkan.
5. Istri yang cerdas adalah istri yang mampu menawan hati ibu mertuanya dengan kebaikan sikapnya dan kemuliaan akhlaknya. Jika di rumah ibu mertuanya ada tamu atau orang-orang diundangnya untuk datang ke rumahnya, maka dia akan membantu ibu mertuanya, dan tidak hanya duduk seperti layaknya tamu kehormatan.
6. Istri yang terhormat selalu mengajari anak-anaknya agar menghormati serta mematuhi nenek dan kakek mereka. Dia akan menanamkan kecintaan dan kasih sayang kepada keduanya di hari mereka, serta membiasakan mereka untuk mengunjungi keduanya.
7. Demikian juga, dia senantiasa mengajari anak-anaknya tata krama pada saat berkunjung ke nenek dan kakek mereka. Dia tidak akan membiarkan anak-anaknya membuat mertuanya merasa tidak nyaman. Dengan demikian, sang mertua pun selalu berharap agar mereka dikunjungi cucu-cucu mereka setiap hari.
8. Apabila ternyata dia dan mertuanya sama-sama memiliki permintaan kepada suaminya, kira-kira apa yang akan dilakukan istri? Tentunya dia tidak akan mengubah rumahnya menjadi neraka sampai suaminya mau memenuhi permintaannya terlebih dulu sebelum memenuhi permintaan mertuanya. Dia pasti akan menginstruksikan suaminya untuk mendahulukan permintaan ayah dan ibunya. Pastinya dia tidak akan menyulut api kemarahan dan kebencian serta mengerek bendera boikot antara dirinya dengan suami hanya karena permintaannya terakhir dipenuhi. Karena jika mertuanya melihat sikap mengalah, itsar (mendahulukan orang lain), dan penghormatan menantunya, maka keduanya tentu akan mengalah dalam banyak hal nantinya.

Dengan demikian, solidaritas seorang menantu itu harus lebih besar. Karena bagaimana pun faktanya, si menantu hidup dalam masa yang berbeda dengan mertuanya, sehingga menyebabkan terjadinya salah persepsi atas perbedaan-perbedaan yang dianggap tidak sopan atau diasumsikan secara negatif. Berinteraksilah dengan mertua sebagaimana berinteraksi dengan orangtua sendiri. Perlakukanlah mertua seperti memperlakukan orangtua sendiri.

Semua yang dilakukan oleh orangtua suami terkadang hanyalah cemburu belaka, karena anak yang sedianya senantiasa selalu memperhatikannya, kini terbagi perhatiannya, bahkan kadang perhatian itu menjadi lebih sedikit terhadap kedua orangtuanya, malah lebih banyak kepada kita, sebagai istrinya. Maka ingatkanlah suami untuk selalu memperhatikan orangtuanya yang sudah membesarkannya. [ganna pryadha/voa-islam.com]

(sumber : http://www.voa-islam.com/muslimah/artikel/2010/04/01/4664/agar-istri-bersahabat-dengan-mertua)

UMMU DZAR AL-GHIFARIYAH


Ummu Dzar Al-Ghifariyah: Teladan Istri Setia Pendamping Suami

Shahabiyah yang akan kita telusuri kisahnya kali ini adalah Ummu Dzar, istri shahabat Abu Dzar Al-Ghifari. Kesetiaannya mendampingi suami, layak diteladani. Betapa tidak, karena beliau ikhlas merawat dan menemani sang suami hingga ajal menjemput . Dalam kesendirian di padang pasir liar nan luas membentang.

Rabadzah, tempat tinggal Abu Dzar Al-Ghifari

Karena adanya perbedaan pendapat, dengan Utsman bin Affan, maka Abu Dzar Al-Ghifari dan keluarganya memilih Rabadzah, padang pasir liar sebagai tempat tinggal mereka. Sebuah keputusan yang sangat berani. Karena daerah tersebut sangat jarang dilalui kafilah. Dan mereka pun hidup tanpa ada tetangga di kanan dan kirinya.

Sang istri yang shalihah, tanpa keluh kesah , dengan setia, mendampingi Abu Dzar Al-Ghifari dan anaknya. Hidup dalam kesederhanaan yang amat sangat. Ditambah lagi, di kemudian hari Abu Dzar Al-Ghifari menderita sakit yang cukup parah.

Menjelang ajal menjemput

Ajal pun semakin dekat, Ummu Dzar selalu berada di sisi sang suami untuk mengurus segala keperluannya. Melihat kondisi, yang semakin parah … Ummu Dzar akhirnya menangis di samping sang suami.

Abu Dzar bertanya, “ Apa yang kamu tangiskan, padahal maut itu pasti datang ?”

“ Karena engkau akan meninggal, padahal pada kita tidak ada kain untuk kafanmu!” jawab Ummu Dzar pilu.

Abu Dzar tersenyum dengan amat ramah, seperti layaknya orang yang akan merantau jauh. Lalu berkata kepada istrinya itu,” Janganlah menangis! Pada suatu hari, ketika saya berada di sisi Rasulullah saw bersama beberapa sahabatnya saw, saya dengar Beliau saw bersabda,” Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di padang pasir liar, yang akan disaksikan nanti oleh serombongan orang-orang beriman!”

Semua yang ada di majelis Rasulullah saw telah meninggal di kampung dan di hadapan jama’ah kaum muslimin. Tidak ada lagi yang hidup di antara mereka kecuali aku.

Nah, inilah aku sekarang menghadapi maut di padang pasir. Maka perhatikanlah jalanan, kalau-kalau rombongan orang-orang beriman itu sudah datang !

Demi Allah, saya tidak bohong, dan tidak pula dibohongi!”

Tak berapa lama, Abu Dzar pun kembali ke hadirat Allah SWT. Innalillahi wa inna illaihi rooji’un.

Kenyataan yang ada

Subhanallah! Apa yang diucapkan Abu Dzar sungguh menjadi kenyataan. Karena tentu saja dia tidak berbohong, dan pasti tidak dibohongi. Karena Rasulullah SAW adalah ma’shum.

Tidak lama berselang, sesudah Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya, tampak serombongan kafilah yang sedang berjalan cepat di padang sahara itu. Subhanallah! Kafilah itu adalah Kafilah kaum mukminin yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas’ud, salah seorang sahabat Rasulullah SAW. Ibnu Mas’ud, merasa sangat trenyuh, karena ia melihat sesosok tubuh yang terbujur seperti jenazah, sedang di sisinya duduk seorang perempuan tua, Ummu Dzar dan anaknya yang sedang menangis.

Subhanallah! Betapa kesetiaan, ketegaran dan ketabahan Ummu Dzar, sangat layak dicontoh. Setia dan istiqamah mendampingi sang mujahid pilihan, hingga akhir hayatnya. Walaupun harus bertempat tinggal di padang pasir liar, padahal usianya sudah sangat tua. Dan tanpa harta yang berharga, hingga, kain untuk mengkafani suaminya pun tidak dimilikinya.

Ibnu Mas’ud, membelokkan tali kekangnya ke arah perempuan tua tersebut. Diikuti anggota rombongan dibelakangnya. Saat pandangan matanya tertuju pada tubuh sang jenazah … tampak olehnya wajah sahabatnya … sahabat seaqidah, sahabat seperjuangan dalam membela tegaknya Islam. Dialah Abu Dzar . Maka, air mata pun mengucur deras dari kedua pelupuk matanya. Innalillahi wa inna illaihi rooji’un. Ia pun berkata, “Benarlah ucapan Rasulullah SAW. Anda berjalan sebatang kara. Mati sebatang kara. Dan dibangkitkan sebatang kara !”

Ibnu Mas’ud RA pun duduk, lalu bercerita kepada para sahabatnya maksud dari pujian yang diucapkannya.

‘ Anda berjalan seorang diri, mati seorang diri, dan dibangkitkan nanti seorang diri !”

Ucapan itu terjadi di waktu Perang Tabuk, tahun kesembilan Hijriah.

Perang Tabuk

Perang Tabuk, adalah perang melawan pasukan Romawi yang cukup menakutkan. Mereka berada di satu tempat dan siap menggempur umat Islam. Saat itu, musim panas teramat teriknya. Sehingga tidak banyak kaum muslimin yang menyambut seruan Rasulullah SAW.

Mereka yang ikut pun, akhirnya berguguran di tengah jalan, satu demi satu . Sebagian disebabkan azam yang tidak mantap. Abu Dzar sempat tertinggal oleh rombongan, karena keledai yang ditungganginya, berjalan sangat gontai. Disebabkan lapar yang sangat dan teriknya matahari yang membakar. Namun Abu Dzar tidak patah semangat.

Akhirnya, karena tidak ingin tertinggal dalam kesempatan jihad, saat itu, Abu Dzar bertekad melanjutkan perjalanannya, mengejar rombongan Rasulullah saw dengan berjalan kaki, sambil memikul beban bawaannya.

Subhanallah, alhamdulillah, Allahu akbar, ia berhasil . Alhamdulillah, bi-iznilah Abu Dzar dapat bertemu kembali dengan rombongan Rasulullah saw saat mereka beristirahat. Azam yang kuat, memberikan hasil akhir yang diharap.

Sungguh, menggapai surga adalah hal yang tidak mudah dan hanya diberikan kepada hamba-hambanya yang terpilih …

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat” (Qs. Al-Baqarah 214).

Sebagai muslimah, banyak hal dapat kita lakukan dan persiapkan untuk berkhidmat di jalan-Nya. [ummu azizah/voa-islam.com]

Maroji: 101 Wanita Teladan di Masa Rasulullah SAW oleh Hepi Andi Bastoni.
(sumber : http://www.voa-islam.com/muslimah/mujahidah/2010/03/05/3652/ummu-dzar-al-ghifariyahteladan-istri-setia-pendamping-suami)

SUMAYYAH BINTI KHUBBATH


Sumayyah binti Khubbath: Wanita Beriman Pertama yang Gugur Syahid

Kisah perjuangan Sumayyah sungguh indah dan menawan untuk didengar. Kisahnya memiliki pengaruh sangat kuat untuk generasi muslim sesudahnya. Dia menjalani kehidupannya dengan berbagai ujian dan cobaan; mulai dari ujian terkecil hingga yang besar. Sumayyah merampungkan ujian dalam kehidupannya dengan sebuah titel kesuksesan terbesar, yaitu kesyahidan. Dia terdaftar dalam urutan para syuhada yang akan menerima hadiah surga dari Allah dan hidup di sisi-Nya serta diberi rezeki melimpah.

Diceritakan bahwa ketika Islam mulai muncul ke permukaan, Sumayyah yang juga istri seorang syahid bernama Yasir dan ibu seorang syahid bernama Ammar itu segera menyambutnya, sehingga dia termasuk salah satu wanita beriman pada fase pertama kemunculan Islam. Bahkan dapat dikatakan bahwa Sumayyah adalah wanita pertama yang memberikan perlawanan kepada kaum musyrikin demi membela panji Islam. Ibnul Atsir mengatakan, “Dia adalah orang ketujuh dari tujuh orang yang mula-mula masuk Islam. Dia termasuk orang yang menerima siksaan berat demi Allah SWT.”

Ibnu Mas’ud berkata, “Orang yang mula-mula membela Islam ada tujuh orang; Rasulullah SAW, Abu Bakar, Bilal, Khabbab, Shuhaib, Ammar, dan Sumayyah.”

Di dalam bukunya, Nisaa` min ‘Ashri An-Nubuwwah, Syaikh Ahmad Khalil Jam’ah menegaskan bahwa dalam lintasan sejarah Islam, tidak dikenal seorang wanita yang memiliki kesabaran seperti Sumayyah. “Dia menjadikan kesabaran sebagai sebuah syiarnya,” tulisnya. Ini mengingat, dapat dibayangkan bagaimana keadaan seorang wanita yang sudah tua renta, namun mampu menghadapi siksaan yang begitu berat dari orang-orang kafir. Disebabkan keimanan kepada Allah, dia sanggup menghadapi berbagai kesedihan dan kesulitan.

Sumayyah tidak seorang diri menghadapi pedihnya siksaan dan getirnya kehidupan. Dia menghadapi siksaan bersama seluruh anggota keluarganya. Lecutan cemeti telah menghancurkan tubuh-tubuh mereka. Akan tetapi, keimanan yang kokoh kepada Allah laksana gunung karang yang tidak terpengaruh gelombang dahsyat ataupun angin yang hebat.

Dikisahkan bahwa Sumayyah diserahkan Abu Hudzaifah bin Al-Mughirah kepada keponakannya, Abu Jahal yang fasik. Meski kondisinya sangat renta dan ringkih, namun Sumayyah mampu menghadapi apa yang orang kuat sekalipun tidak mampu menghadapinya. Abu Jahal yang telah dihinakan oleh Allah mengambilnya dengan tujuan memuaskan rasa dengki di dalam hatinya, sekaligus mencabut akidah Islam yang tertanam di dada Sumayyah.

Menghadapi intimidasi Abu Jahal, Sumayyah memilih diam seribu bahasa dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Abu Jahal mengolok-oloknya dengan berkata, “Engkau tidak beriman kepada Muhammad, melainkan karena engkau merindukan ketampanannya.” Namun Sumayyah tetap tidak mau berbicara. Dia bertahan dari siksaan dengan rasa bangga. Karena dia merasa jauh lebih mulia daripada Abu Jahal dan para pengikutnya. Dia bangga dengan akidah tauhid yang diyakininya. Dengan tauhid, Sumayyah merasa ringan menghadapi siksaan yang pahit, karena dia yakin berada di jalan Allah.

Mengenai gambaran betapa beratnya siksaan yang dihadapi mereka, Ibnu Katsir menceritakan, dia menukil dari Ibnu Ishaq yang mengisahkan, “Ketika waktu zuhur tiba, Yasir, ayah, dan ibunya (Sumayyah) berangkat bersama Bani Makhzum. Mereka menyiksa keluarga Yasir di sekitar Kota Makkah. Rasulullah berlalu di dekat mereka seraya bersabda, “Bersabarlah wahai keluarga Yasir, dijanjikan surga untuk kalian.”

Lalu Al-Baihaqi, dengan sanadnya, meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulukllah berlalu di dekat Ammar dan keluarganya yang sedang menerima siksaan. Kemudian beliau bersabda kepada mereka, “Bergembiralah wahai keluarga Ammar dan Yasir, sesungguhnya telah dijanjikan surga untuk kalian semua.” (HR. Al-Hakim)

Ketika orang-orang musyrik telah merasa putus asa menghadapi ketabahan dan kesabaran Sumayyah, maka mereka membunuhnya dengan tombak yang dihunjamkan ke arah kemaluannya. Dan Sumayyah pun menjadi syahidah pertama.

Kerasnya intimidasi dan dahsyatnya siksaan kaum kafir Quraisy menyebabkan anak dan suaminya juga terbunuh di jalan Allah. Mereka terbunuh sementara keimanan dan keislaman tetap kokoh bercokol di dalam hati mereka.

Semoga Allah meridhai Sumayyah, anaknya, dan suaminya. Semoga mereka mendapatkan ampunan dari Allah, sebagai yang disabdakan Rasulullah, “Ya Allah, ampunilah keluarga Yasir, dan Engkau telah melakukan itu.” [ganna pryadha/voa-islam.com]

(sumber : http://www.voa-islam.com/muslimah/mujahidah/2010/03/24/4265/sumayyah-binti-khubbathwanita-beriman-pertama-yang-gugur-syahid)

FATIMAH BINTI KHATTAB


Fatimah adalah putri Khatthab bin Nufa’il al-Makhzumi al-Quraisy, seorang mulia berderajat tinggi dan utama di kalangan orang Arab. Ibundanya adalah Hamtamah binti Hasyim bin Mughirah.

Fatimah binti Khatthab memiliki peran penting di masa awal dakwah Rasulullah SAW. Dia termasuk salah seorang shahabiyah yang pertama berbaiat di hadapan Rasulullah SAW. Demikian juga suaminya, Said bin Zaid. Beliau memberi contoh mulia bagi setiap muslimah dalam hal menyembunyikan dan menjaga rahasia. Sebagai bentuk perlindungan, terhadap Islam dan terhadap Rasulullah SAW. Dia juga mempraktikkan keteladanan dalam keberanian.

Nikmat besar yang sangat disyukurinya adalah atas izin Allah, ia berhasil menghantar sang kakak, Umar bin Khatthab memeluk Islam. Sebagaimana permohonan Nabi Muhammad saw kepada Allah, agar menguatkan Islam dengan salah satu dari dua Umar.

Umar bin Khatthab memeluk Islam

Umar bin Khatthab RA, mengisahkan tentang dirinya masuk Islam. Beliau RA berkata, "Aku keluar rumah tiga hari sesudah masuk Islamnya Hamzah RA. Aku bertemu dengan Nu’aim bin Abdillah al-Makhzumi". Aku katakan kepadanya,” Apakah kamu benci agama bapak moyang kamu dan lebih cenderung kepada agama Muhammad?”
Dia menjawab, “Orang yang lebih besar haknya atas dirimu saja sudah melakukan hal ini.”
“Siapa dia?”.
“Adikmu, Fatimah dan iparmu, yakni suaminya, Said bin Zaid.
Aku bergegas menuju rumah adikku. Kudapati pintunya terkunci, tetapi aku mendengar dengungan suara dari dalam rumah. Ketika pintu terbuka, akupun masuk. Akupun bertanya,” Suara apa yang kudengar tadi ?”.
Fatimah membantah,” Aku tidak mendengar apa-apa.” Kami terus berbantah-bantahan, hingga akhirnya kupegang kepalanya. Fatimah berkata,” Semua ini akan mencelakakanmu, aku malu ketika aku melihat darah.”
Aku berkata,” Perlihatkan kepadaku kitab yang kudengar kalian membacanya tadi.”
Fathimah menjawab, “Kami mengkhawatirkan kamu atasnya.”
Kukatakan, “Kamu jangan khawatir. Aku bersumpah demi tuhan-tuhan itu, aku pasti mengembalikannya apabila aku sudah membacakannya kepada mereka.”

Adikku berkata, “Tidak menyentuhnya kecuali makhluk-makhluk yang disucikan.” Lantas Aku mandi dan kubaca:

1. Thaahaa.
2. Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah;
3. tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah),
4. Yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi.
5. (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arasy.
6. kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.
7. dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, Maka Sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.
8. Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang baik),

Aku berkata, “Betapa bagusnya ucapan ini dan betapa mulianya.”
Ketika Khabbab bin al-Arrat mendengar pembicaraan ini, maka ia pun keluar dari persembunyiannya di belakang rumah Fatimah. Dia bersembunyi ketakutan ketika mendengar suara Umar mengetuk pintu.

Khabbab berkata, “Wahai Umar, sesungguhnya aku berharap agar Allah mengkhususkan engkau dengan doa nabi-Nya. Sesungguhnya aku mendengar pada suatu sore Beliau SAW berdo’a,” Ya Alloh, kuatkanlah Islam dengan Abul Hakam bin Hisyam atau dengan Umar bin Khatthab” (dalam riwayat lain disebutkan: “Kuatkanlah Islam dengan salah satu dari dua Umar”).

Aku berkata kepada Khabbab,” Tunjukkan kepadaku di mana Muhammad berada. Aku akan datang menemuinya untuk masuk Islam”. Khabbab mengajakku kerumah Arqam bin Abil Arqam (di dekat bukit Shafa) sampai aku mengikrarkan Islam di hadapan Rasulullah SAW. Pada saat itu, Rasulullah saw langsung bertakbir, demikian juga para sahabat di sana, dan juga mengumandangkan tahlil. Mereka menampakkan kegembiraan mereka (Ma’rifah ash-Shahabah, Abu Nu’aim al Ashbahani, 7145, hasan).

Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar !!!

Demikianlah, kisah Umar bin Khatthab memeluk Islam. Yang tidak dapat dilepaskan dari peran besar sang adik, Fatimah. Yang sudah lebih dulu memeluk Islam. Dan menunjukkan ketegarannya, walaupun darah sempat mengucur di wajahnya … Saat berseteru dengan sang Al Faruq, Umar bin Khatthab. Tidak ada kemarahan, apalagi sakit hati padanya. Bahkan, ia tetap penuh semangat, mendorong sang kakak untuk memeluk Islam.

Semoga kita semua, para muslimah dapat mengambil ibrah dari kisah di atas. [ummu azizah/voa-islam.com]

Maroji’: Ali bin Nayif asy-Syuhud, Kisah Shahabiyah: Mawar-mawar Padang Pasir (judul asli: Masyahir an-Nisa’ al Muslimat).
(sumber : http://www.voa-islam.com/muslimah/mujahidah/2010/04/01/4665/fatimah-binti-khatthabmenghantar-umar-al-faruq-memeluk-islam)

SEJARAH APRIL MOP


Di Barat, tiap tanggal 1 April diperingati hari “April Mop.” Sedangkan di Indonesia, di berbagai kota besar, tak jarang kaula muda Muslim latah mengikuti tradisi April Mop. Pada hari itu, mereka diperbolehkan dan sah-sah saja menipu teman, mengisengi kawan, ngerjain guru, ngusilin orang tua, membohongi saudara, atau yang sejenisnya, di mana sang target tidak boleh marah atau emosi ketika sadar bahwa dirinya telah menjadi sasaran April Mop. Biasanya, jika sang target April Mop sudah sadar bahwa dirinya dijadikan target April Mop, mereka juga akan tertawa atau minimal mengumpat sebal, tapi tidak akan marah sungguhan.

Seolah-olah 1 April adalah hari di mana keisengan dan kebohongan harus berjalan sempurna dan akurat, zero tolerance bagi kesalahan. Jika berhasil ngisengin sang target, maka yang didapat adalah rasa puas dan sensasi plong.

Kaula muda Muslim itu latah dalam April Mop karena ikut-ikutan tradisi bule tanpa mengkritisi apa hakikat April Mop yang di Barat lebih dikenal dengan “The Aprils Fool Day” itu. Mereka begitu mudah meniru budaya bule karena suburnya rasa rendah diri terhadap orang-orang bule. Minder terhadap orang bule ini adalah sisa peninggalan penjajahan Belanda di Indonesia selama berabad-abad lamanya, inlanderr, terhadap superioritas bangsa kulit putih.

Supaya tidak latah dan tasyabbuh membebek budaya kafir, mari kita telah sejarah April Mop berikut.

SEJARAH APRIL MOP

Perayaan April Mop yang selalu diakhiri dengan kegembiraan dan kepuasan itu sesungguhnya berawal dari satu tragedi yang sangat menyedihkan dan memilukan. April Mop atau The April’s Fool Day berawal dari satu episode sejarah Muslim Spanyol di tanggal 1 April 1487. Sebelum sampai pada tragedi tersebut, ada baiknya menengok sejarah Spanyol dahulu ketika masih di bawah kekuasaan Islam.

Sejak dibebaskan Islam pada abad ke-9 M oleh Panglima Thariq bin Ziyad, Spanyol berangsur-angsur tumbuh menjadi satu negeri yang makmur. Pasukan Islam tidak saja berhenti di Spanyol, namun terus melakukan pembebasan di negeri-negeri sekitar menuju Prancis. Prancis Selatan dengan mudah bisa dibebaskan. Kota Carcassonne, Nimes, Bordeaux, Lyon, Poitou, Tours, dan sebagainya jatuh. Walau sangat kuat, pasukan Islam masih memberikan toleransi kepada suku Got dan Navarro di daerah sebelah Barat yang berupa pegunungan.

Islam telah menerangi Spanyol. Karena sikap para penguasa Islam begitu baik dan rendah hati, maka banyak orang-orang Spanyol yang kemudian dengan tulus dan ikhlas memeluk Islam. Muslim Spanyol bukan hanya beragama Islam, namun mereka sungguh-sungguh mempraktikkan kehidupan secara Islami. Mereka tidak hanya membaca Al-Qur'an, tapi juga bertingkah laku berdasarkan Al-Qur'an. Mereka selalu berkata tidak untuk musik, bir, pergaulan bebas, dan segala hal yang dilarang Islam. Keadaan tenteram seperti itu berlangsung hampir enam abad lamanya.

Selama itu pula kaum kafir yang masih ada di sekeliling Spanyol tanpa kenal lelah terus berupaya membersihkan Islam dari Spanyol, namun mereka selalu gagal. Telah beberapa kali dicoba tapi selalu tidak berhasil. Dikirimlah sejumlah mata-mata untuk mempelajari kelemahan umat Islam di Spanyol. Akhirnya mata-mata itu menemukan cara untuk menaklukkan Islam di Spanyol, yakni pertama-tama harus melemahkan iman mereka dulu dengan jalan serangan pemikiran dan budaya.

Maka mulailah secara diam-diam mereka mengirim alkohol dan rokok secara gratis ke dalam wilayah Spanyol. Musik diperdengarkan untuk membujuk kaum mudanya agar lebih suka bernyanyi dan menari ketimbang baca Al-Qur'an. Mereka juga mengirim sejumlah ulama palsu yang kerjanya meniup-niupkan perpecahan di dalam tubuh umat Islam Spanyol. Lama-kelamaan upaya ini membuahkan hasil.

Akhirnya Spanyol jatuh dan bisa dikuasai pasukan Salib. Penyerangan oleh pasukan Salib benar-benar dilakukan dengan kejam tanpa mengenal peri kemanusiaan. Tidak hanya pasukan Islam yang dibantai, juga penduduk sipil, wanita, anak-anak kecil, orang-orang tua, jompo, semuanya dihabisi secar sadis.

Satu persatu daerah Spanyol jatuh, Granada adalah daerah terakhir yang ditaklukkan. Penduduk-penduduk Islam di Spanyol –yang juga disebut orang Moor– terpaksa berlindung di dalam rumah untuk menyelamatkan diri. Tentara-tentara Kristen terus mengejar mereka.

Ketika jalan-jalan sudah sepi, tinggal menyisakan ribuan mayat yang bergelimpangan bermandikan genangan darah, tentara Salib mengetahui bahwa banyak Muslim Granada yang masih bersembunyi di rumah-rumah. Dengan lantang tentara Salib itu meneriakkan pengumuman, bahwa para Muslim Granada bisa keluar dari rumah dengan aman dan diperbolehkan berlayar keluar dari Spanyol dengan membawa barang-barang keperluan mereka.

“Kapal-kapal yang akan membawa kalian keluar dari Spanyol sudah kami persiapkan di pelabuhan. Kami menjamin keselamatan kalian jika ingin keluar dari Spanyol. Setelah ini kami tidak akan memberikan jaminan lagi,” demikian bujuk tentara Salib.

Orang-orang Islam masih curiga dengan tawaran ini. Beberapa orang Islam diperbolehkan melihat sendiri kapal-kapal penumpang yang sudah dipersiapkan di pelabuhan setelah benar-benar melihat ada kapal yang sudah dipersiapkan, maka mereka segera bersiap untuk meninggalkan Granada bersama-sama menuju ke kapal-kapal tersebut. Mereka pun bersiap untuk berlayar.

Keesokan harinya, ribuan penduduk Muslim Granada yang keluar dari rumah-rumahnya dengan membawa seluruh barang keperluannya beriringan jalan menuju ke pelabuhan. Beberapa orang Islam yang tidak mempercayai tntara Salib bertahan dan terus bersembunyi di rumah-rumah mereka. Setelah ribuan umat Islam Spanyol berkumpul di pelabuhan, dengan cepat tentara Salib menggeledah rumah-rumah yang telah ditinggalkan penghuninya. Lidah api terlihat menjilat-jilat angkasa ketika para tentara Salib itu membakari rumah-rumah tersebut bersama orang-orang Islam yang masih bertahan di dalamnya.

Sedang ribuan umat Islam yang bertahan di pelabuhan hanya bisa terpana ketika tentara Salib juga membakari kapal-kapal yang dijanjikan akan mengangkut mereka keluar dari Spanyol. Kapal-kapal itu dengan cepat tenggelam. Ribuan umat Islam tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka sama sekali tidak bersenjata. Mereka juga kebanyakan terdiri dari para perempuan dan anak-anak yang masih kecil. Sedang tentara Salib itu telah mengepung dengan pedang terhunus.

Dengan satu teriakan komando dari pemimpinnya, ribuan tentara Salib itu segera membantai dan menghabisi umat Islam Spanyol tanpa perasaan belas kasihan. Jerit tangis dan takbir membahana. Dengan buas tentara Salib terus membunuhi warga sipil yang sama sekali tidak berdaya.

Ribuan Muslim Spanyol di pelabuhan itu habis dibunuh dengan sadis. Darah menggenang di mana-mana. Laut yang biru telah berubah menjadi merah kehitam-hitaman. Tragedi yang bertepatan dengan 1 April inilah yang kemudian diperingati oleh dunia Kristen setiap tanggal 1 April sebagai “April Mop” (The Aprils Fool Day).

Pada tanggal 1 April, orang-orang diperbolehkan menipu dan berbohong kepada orang lain. Bagi umat Kristiani, April Mop merupakan hari kemenangan atas dibunuhnya ribuan umat Islam Spanyol oleh tentara Salib melalui cara yang licik, tipuan dan dusta yang sadis. Sebab itu, mereka merayakan April Mop dengan cara melegalkan penipuan dan kebohongan, walau dibungkus dengan dalih sekadar hiburan atau keisengan belaka.

Bagi umat Islam, April Mop tentu merupakan tragedi yang sangat menyedihkan. 1 April tahun itu adalah hari di mana saudara-saudaranya seiman ditipu, disembelih, dibakar dan dibantai oleh tentara Salibis di Granada, Spanyol. Sebab itu, terkutuklah orang Islam yang ikut-ikutan merayakan April Mop. Pantaskah orang-orang Islam itu ikut bergembira dan tertawa ria atas tragedi tersebut?

Bagi kita yang paham akan sejarah April Mop, sampai hatikah kita latah merayakan April Mop yang latar belakangnya adalah peringatan atas penipuan dan pembantaian pasukan Salibis terhadap ribuan Muslim Spanyol? [taz/voa-islaml.com]

Maraji': Rizki Ridyasmara, Valentine Day, Natal, Happy New Year, April Mop, Halloween, So Whatt?, Pustaka Al-Katutsar, Jakarta 2007.

(sumber : http://www.voa-islam.com/islamia/liberalism/2010/04/01/4646/april-mophari-pembantaian-salibis-terhadap-ribuan-muslim-spanyol)

Rabu, 31 Maret 2010

CERITA MENJELANG WAFATNYA NABI


Suatu malam, setelah kembali ke Medinah, Nabi SAW bangun ditengah malam. Kemudian dia meminta pelayannya untuk menyiapkan pelana keledainya.
Segera kemudian Nabi SAW dengan pelayannya meninggalkan rumah menuju Baqi Al-Gharqad, kuburan kaum Muslim.

Didepan kuburan tersebut, seolah-olah bisa melihat para Syuhada yang dikubur, Nabi SAW pun berbicara dan berdoa untuk mereka. Si pelayan, ‘Abd Allah’ kemudian melaporkan bahwa “Nabi Muhammad SAW mengatakan kepada saya bahwa Nabi SAW diperintahkan oleh Allah SWT untuk berdoa bagi yang meninggal dan bahwa saya harus pergi bersama dia”

Sesaat setelah berdoa, Nabi SAW berbalik dan memandang sang pelayan sambil berkata: “Saya mendapat pilihan antara memilih menjadi kaya raya dan mendapatkan semua kekayaan dunia, panjang umur dan kemudian masuk syorga, atau memilih menemui Allah SWT dan masuk syorga sekarang juga.

Si pelayan, Abd Allah, memohon dengan sangat agar Nabi SAW memilih yang pertama, yaitu panjang umur dengan kekayaan yang melimpah dan kemudian masuk syorga.
Tapi Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa dia telah memilih untuk menemui dan menghadap Allah SWT sekarang juga, dan tidak memilih untuk tetap tinggal di dunia ini. Kemudian mereka pun pulang kembali menuju rumah, dan Rasullullah pun meneruskan tidurnya.

Pagi-pagi sekali ketika akan bangun, Nabi SAW merasakan sakit kepala yang sangat berat, tapi Nabi SAW tetap memaksakan diri untuk memimpin sholat subuh di mesjid.
Dan seperti biasa, Nabi SAW pun berbicara didepan para sahabat dan jamaah subuh pagi itu, dan dari apa yang beliau ungkapkan semuanya mengerti bahwa Nabi SAW sudah mendekati masa akhir hidupnya.

Nabi SAW memuji teman terdekatnya, Abu Bakar, yang mulai meneteskan air mata. Kemudian juga Nabi SAW mengatakan kepada hadirin bahwa mereka tahu bahwa kita semua akan bertemu kembali di syorga.

Walaupun Nabi SAW tahu persis bahwa umatnya akan tetap menyembah Allah, tapi kenikmatan dunia akan sangat besar daya tariknya sehingga Nabi sudah mengungkapkan kekhawatirannya akan hal tersebut, bahwa suatu saat nanti umatnya akan bertarung satu sama lain demi “material semata” dan melupakan hal-hal yang bersifat “spiritual”.

Segera setelah berbicara didepan umatnya, Nabi SAW pun meminta dipindahkan ke kamar salah satu Istrinya, yaitu Aishah.
Hari pun berlalu, namun sakit nya Nabi SAW makin parah, panasnya pun meninggi. Sampai suatu hari, saking beratnya sakitnya, Nabi SAW tidak mampu berjalan menuju mesjid, yang hanya disebelah kamar Aishah.

Nabi SAW pun kemudian menyuruh Aishah untuk mengabarkan kepada Umat nya agar meyuruh Abu Bakar, yaitu bapaknya Aishah sendiri, untuk menjadi Imam pada sholat tersebut.
Semua jamaah sangatlah merasa sedih, karena baru kali ini lah Nabi SAW tidak bisa memimpin Sholat mereka.

Kemudian, ada tanggal 12 Rabiul Awal 11 Hijriyah (8 Juni 632), Nabi SAW mendengar suara orang lagi sholat. Dengan susah payah, Nabi SAW melihat dari pintu dan menyaksikan ABu Bakar menjadi Imam sholat, dan sementara itu jamaah berbaris rapi dibelakangnya.

Nabi pun tersenyum bahagia. Melihat nabi datang, Abu Bakar pun mempersilahkan Nabi untuk memimpin, tapi dengan halus Nabi mempersilahkan Abu bakar untuk terus menjadi Imam. Nabi SAW pun sholat sambil duduk disebelah ABu Bakar. Segera setelah itu, Nabi SAW pun kembali ke kamar dan merebahkan diri.

Nabi SAW berada dalam kondisi yang kesakitan, sehingga Fatimah, anak perempuannya, menangis sedih.
“Tidak ada lagi kesakitan bagi Bapak mu ini setelah hari ini; Sungguh, kematian telah menghampiri ku. Kita akan semua akan merasakannya” Nabi SAW berkata.

Melihat Nabi SAW berbaring, Aishah, sang istri ingat akan satu hal yang pernah pernah diungkapkan oleh Nabi Muhammad SAW yaitu:
“Allah tidak pernah mengambil nabi SAW tanpa memberikan dia pilihan. Dan dia ingat kata terakhir Nabi SAW adalah: “tidak, lebih baik di Syorga yang mulia”.
Mendengan itu, Aishah pun berkata kepada dirinya sendiri: “Oh, Demi Allah, Nabi Muhammad SAW tidak memilih kita”.

Akhirnya Nabi Muhammad SAW pun meninggal dunia.
Mendengar kabar itu, semua jamaah merasa sangat sedih. “Umar tidak percaya dan mengatakan hal tersebut tidak benar”
Abu Bakar pun kemudian berbicara kepada jamaah:
“Semua pujian hanyalalh milik Allah. Hai Manusia, siapapun yang menyembah Muhammad, maka Muhammad telah meninggal dunia. Tapi bagi siapa yang menyembah Allah, Allah hidup dan akan tetap hidup”

Kemudian Abu Bakar membaca Surat Ali Imran Ayat 144 – 145:
Muhammad itu hanyalah seorang Nabi, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Nabi. Apakah jika dia wafat atau dibunuh maka kamu berbalik kebelakang menjadi Murtad? barang siapa yang berbalik kebelakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala Akhirat, maka akan kami berikan kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memebrikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur”

Setelah itu, kaum muslim pun akhirnya sepakat menyetujui Abu Bakar sebagai pemimpin mereka yang memang sudah dipilih sendiri oleh Nabi Muhammad SAW.
Abu Bakar kemudian menutup pidatonya dengan kata-kata:
“Ikuti saya selama saya mengikuti Allah dan Nabi SAW. Tapi jangan ikuti jika saya menyimpang dari ajaran Allah dan Nabi SAW. Sekarang, mari kita sholat, Allah akan menyayangi mu”

“Dimana Nabi SAW akan dikuburkan?” salah seorang bertanya.
Abu Bakar ingat ketika Nabi SAW pernah berkata: “Nabi mesti dikuburkan di lokasi dimana dia meninggal” yang merupakan terjemahan bebas dari “No prophet dies who is not buried on the spot where he died”.

Demikianlah, Nabi Muhammad SAW pun akhirnya dikubur di tempat dia meninggal, yaitu di kamar Aishah. Kuburan di gali dilantai kamar Aishah, disebelah mesjid.
Tempat inilah yang kemudian dikenal sebagai “Haram Al-Nabawi”
(disadur dari The life of The Prophet Muhammad)

(sumber : http://cahyaiman.wordpress.com)

KOPI LUWAK, HARAMKAH?


Pertanyaan:

Kopi luwak merupakan jenis kopi yang mahal, dan sangat terkenal hingga keluar negeri. Namun permasalahannya kopi tersebut berasal dari buah kopi yang telah dimakan oleh binatang luwak, dengan kata lain berasal dari olahan pembuangan kotoran binatang luwak. Maka apa hukum mengkonsumsinya ?

Jawaban:

Ikhwati fillah, Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Hukum kopi luwak berkaitan erat dengan hukum binatang luwak dan kotorannya.

Hukum dagingnya:

Berdasar artikel di wikipedia:

"Binatang luwak/musang (Paradoxurus Hermaphrodirus) termasuk binatang buas (Carnivora ) pemakan daging. Selain itu binatang ini juga menyukai buah- buahan seperti pisang, pepaya, jambu dan buah kopi. Karena pemakan daging, binatang ini cenderung berperilaku kanibal bila dikumpulkan dengan luwak yang lebih kecil, karenanya kandang dibuat satu per satu."

Singkatnya mirip seperti kucing bertaring sedikit, dan kakinya bercakar.

Namun yang perlu diluruskan, adanya taring dan memakan daging atau memangsa musang yang lebih kecil itu tidak menjadikannya binatang buas seperti singa. Karena yang diharamkan itu adalah "binatang buas" yang bertaring. Sedangkan musang bukan termasuk binatang buas. Karena definisi yg paling kuat tentang binatang buas ialah binatang yang menyerang manusia, semisal, harimau, beruang, singa, serigala dan yang serupa.

Oleh karena itu binatang dhabu' atau hyena halal untuk dimakan, karena hyena tidak menyerang manusia, walaupun dia adalah pemakan daging.



عن ابْنِ أَبِى عَمَّارٍ قَالَ قُلْتُ لِجَابِرٍ الضَّبُعُ صَيْدٌ هِىَ ؟ قَالَ نَعَمْ. قَالَ قُلْتُ آكُلُهَا قَالَ نَعَمْ. قَالَ قُلْتُ لَهُ أَقَالَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ نَعَم

Dari Ibnu Abi 'Ammar, ia mengisahkan: Aku pernah bertanya kepada sahabat Jabir tentang hyena, apakah itu termasuk hewan buruan? Beliau menjawab: "Ya." Akupun kembali menekankan dengan berkata: "Apakah aku boleh memakannya?" Beliau kembali menjawab: "Ya." Aku kembali bertanya: "Apakah itu pernah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?" beliau kembali menjawab: "Ya." (Riwayat At Tirmizy, Ibnu Majah, dan hadits ini dinyatakan sebagai hadits shahih oleh banyak ulama', diantaranya oleh Syaikh Albani)

Hadits ini juga selaras dengan hadits lain, yang dengan tegas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:


عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الضَّبُعِ فَقَالَ هُوَ صَيْدٌ وَيُجْعَلُ فِيهِ كَبْشٌ إِذَا صَادَهُ الْمُحْرِمُ

Dari sahabat Jabin bin Abdillah, ia mengisahkan: "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hyena? Beliau menjawab: Hyena adalah binatang buruan, dan bila diburu oleh orang yang sedang berihram, maka ia berkewajiban membayar kafara yaitu menyembelih seekor domba." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya)

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa binatang buas yang diharamkan bukan hanya sekedar memakan daging, akan tetapi yang menyerang manusia sebagaimana disebutkan di atas. Yang demikian itu dikarenakan hyena dan binatang bertaring serupa tidak memiliki kebiasan menyerang manusia, terlebih-lebih luwak.

Hukum kotorannya:

Adapun hukum kotorannya, pendapat yang paling kuat di kalangan ulama adalah sucinya kotoran musang. Karena musang termasuk hewan yang halal dimakan, sementara semua hewan yang halal dimakan maka kotoran dan kencingnya adalah suci dan tidak najis. Ini adalah mazhab Al-Malikiah dan Al-Hanabilah, bahkan merupakan pendapat para sahabat seluruhnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubra (5/313), “Kencing dan tinja hewan yang boleh dimakan dagingnya adalah suci, tidak ada seorangpun dari para sahabat yang berpendapat najisnya. Bahkan pendapat yang menyatakan najisnya adalah pendapat yang muhdats (baru muncul), tidak ada contoh sebelumnya dari kalangan para sahabat.”

Hal ini juga dikuatkan dengan beberapa dalil dari hadits:


كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يُصَلِّى قَبْلَ أَنْ يُبْنَى الْمَسْجِدُ فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ . متفق عليه

"Dahulu sebelum dibangun masjid nabawi, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendirikan sholat di kandang kambing."(Muttafaqun 'alaih)

Tentunya, kandang kambing tidak luput dari kotoran dan kencing kambing. Andaikan kotoran kambing dan hewan serupa najis, maka mana mungkin beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mendirikan sholat di dalamnya.

Pemahaman terhadap hadits ini juga dikuatkan oleh pemahaman terhadap hadits berikut:


قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ ، فَاجْتَوَوُا الْمَدِينَةَ ، فَأَمَرَهُمُ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - بِلِقَاحٍ ، وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا. متفق عليه


"Beberapa orang dari kabilah 'Ukel dan Urainah singgah di kota Madinah, tidak

berapa lama perut mereka menjadi kembung dan bengkak karena tak tahan dengan cuaca Madinah. Menyaksikan tamunya mengalami hal itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk mendatangi onta-onta milik Nabi yang digembalakan di luar kota Madinah, lalu minum dari air kencing dan susu onta-onta tersebut." (Muttafaqun 'alaih)

Andai air seni onta najis, maka mana mungkin beliau memerintahkan tamunya untuk berobat dengan meminumnya.

Kesimpulan:

Berdasarkan penjelasan ini, maka disimpulkan bahwa kopi luwak adalah halal dan tidak najis. Yang demikian itu dikarenakan luwak tidak termasuk binatang buas, karena tidak menyerang manusia. Luwak termasuk binatang herbifora yang makanannya adalah buah-buahan. Sebagaimana tidak ada dalil khusus yang mengharamkannya. Dengan demikian kotoran luwak adalah suci dan tidak najis, dan kopi yang keluar bersama kotorannyapun suci dan tidak najis.

Seandainya luwak haram hukumnya, sehingga kotorannya pun najis, maka biji kopi yang dimakannya tetap halal karena tidak tercerna oleh perut luwak sehingga keluar bijinya dalam keadaan utuh kecuali kulit dan buahnya, demikian juga sebelum dijadikan minuman kopi tersebut telah dicuci dan dibersihkan dari kotoran. Sehingga tidak ada alasan untuk mengharamkannya. Wallahu a'alam bisshowab.

(sumber : http://www.voa-islam.com/islamia/konsultasi-agama/2010/03/22/4199/kopi-luwakharamkah)

SIAPAKAH SUAMI BAGI WANITA PENGHUNI SORGA


PERTANYAAN:

Assalamu'alaikum.

Ustadz, teman ana bertanya sbb: Seorang istri mendapat syafaat dari suaminya –misalnya ibadah jihad– jika suaminya memilih bidadari surga sebagai istrinya, apakah istrinya yang di dunia akan menjadi istrinya di syurga, atau istrinya menikah dengan bidadara syurga? Bagaimana jawabannya? Wassalamu'alaikum,

Ummi, bekasi

JAWABAN:

Alhamdulillah washolaatu wassalamu 'alaa Rasulillah waba'du,

Ummi di Bekasi, karena pertanyaan ini berkaitan dengan aqidah, maka kami akan menjawab dengan menukil fatwa ulama.

Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata, bahwa Allah Azza wa Jalla hanya menyebutkan istri bagi suami (dalam surga) karena suami biasanya yang mencari dan dialah yang menginginkan terhadap wanita, oleh karena itu disebutkan istri-istri bagi para pria di dalam surga dan tidak disebutkan suami-suami bagi kaum wanita. Akan tetapi hal itu tidak bermakna mereka wanita tidak mendapatkan suami, namun mereka memiliki suami dari bangsa manusia.

Wanita di dunia tidak terlepas dari keadaan-keadaan berikut yaitu:

1. Apabila wanita tersebut meninggal sebelum menikah yakni masih perawan,maka di surga kelak Allah Azza wa Jalla akan menikahkan wanita tersebut dengan dengan seorang laki dari penduduk bumi berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

عن محمد قال‏:‏ اما تفاخروا واما تذاكروا‏:‏ الرجال في الجنة اكثر ام النساء‏؟‏ فقال ابو هريرة‏:‏ او لم يقل ابو القاسم صلى الله عليه وسلم ‏"‏ان اول زمرة تدخل الجنة على صورة القمر ليلة البدر‏.‏ والتي تليها على اضوا كوكب دري في السماء‏.‏ لكل امرئ منهم زوجتان اثنتان‏.‏ يرى مخ سوقهما من وراء اللحم‏.‏ وما في الجنة أعزب‏؟‏‏"‏

Dari Muhammad berkata: “Apakah mereka saling berbangga atau saling mengingatkan: kaum laki di surga lebih banyak atau wanita? Maka Abu Hurairah berkata: Bukankah Abul Qasim shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kelompok pertama yang masuk surga menyerupai bentuk bulan purnama, kemudian yang berikutnya secerah cahaya bintang di langit, setiap orang di sana memiliki dua orang istri, di mana dia dapat melihat sumsum mereka dari balik dagingnya. Dan di surga tidak ada bujangan” (HR Muslim No. 5062 Juz: 13 hal: 467, Maktabah Syamilah).

Syaikh Utsaimin berkata: “Apabila wanita tersebut belum pernah menikah di dunia maka Allah akan menikahkannya dengan laki-laki yang disukainya di surga. Karena kenikmatan di surga tidak hanya terbatas untuk kaum laki saja, namun juga untuk kaum laki dan wanita, di mana yang termasuk kenikmatan: adalah menikah.

2. Kondisi nomor satu di atas juga berlaku bagi wanita yang meninggal namun bercerai.

3. Kondisi nomor satu di atas berlaku pula bagi wanita yang suaminya bukan termasuk penghuni surga.

Syaikh Utsaimin berkata: “Apabila wanita tersebut termasuk ahli surga dan belum menikah, atau suaminya bukan termasuk ahli surga, maka apabila dia masuk surga maka di surga ada kaum laki-laki yang belum menikah sebelumnya, maka dia menikah dengan salah satu wanita tersebut.

4. Adapun wanita yang meninggal setelah menikah –dia termasuk ahli surga– maka dia menikah dengan mantan suaminya di dunia.

5. Adapun wanita yang suaminya meninggal lalu dia tidak menikah lagi setelah itu sampai dia meninggal maka wanita itu menjadi istrinya di surga.

6. Adapun wanita yang suaminya meninggal lalu dia menikah lagi sesudahnya maka wanita tadi menjadi istri bagi suaminya yang terakhir meskipun wanita tadi sudah berkali-kali menikah, maka sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

عن ميمون بن مهران قال : خطب معاوية رضي الله عنه أم الدرداء ، فأبت أن تزوجه و قالت : سمعت أبا الدرداء يقول : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " المرأة في آخر أزواجها أو قال : لآخر أزواجها " أو كما قالت - و لست أريد بأبي الدرداء بدلا ) ( سلسلة الأحاديث الصحيحة للألباني).

Dari Maimun bin Mihran berkata: Mu’awiyah radhiyallahu anhu melamar istri Abu Darda’, namun dia tidak menerimanya dan berkata: Aku mendengar Abu Darda’ berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wanita bersama suaminya yang terakhir,” dia berkata: dan aku tidak ingin pengganti untuk Abu Darda’ (hadits shahih dikeluarkan oleh Abu Ali Al-Harrani Al-Qusyairi dalam Tarikhul Riqqah (2/39/3) Silsilah Ahadits Shahihah karangan Syaikh Albani 3/25).

Juga berdasarkan perkataan Hudzaifah radhiyallahu anhu kepada istrinya:

عن حذيفة – رضي الله عنه – لامرأته : ( إن شئت أن تكوني زوجتي في الجنة فلا تزوجي بعدي فإن
المرأة في الجنة لآخر أزواجها في الدنيا فلذلك حرم الله على أزواج النبي أن ينكحن بعده لأنهن أزواجه في الجنة)).أخرجه البيهقي في السنن

Dari Hudzaifah radhiyallahu anhu berkata kepada istrinya: “Jika kamu ingin menjadi istriku di surga maka jangan menikah lagi sesudahku: karena wanita di surga bersama suaminya yang terakhir di dunia oleh karena itu Allah mengharamkan kepada istri-istri Nabi untuk menikah lagi sesudahnya karena mereka adalah istri-istri Beliau di surga,” (dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Sunannya (7/69-70).

Permasalahan: Sebagian mungkin berkata: bahwa dalam doa jenazah kita mengucapkan: "Dan gantilah untuknya suami yang lebih baik dari suaminya." Tapi apabila dia menikah, bagaimana kita mendoakannya sedangkan kita tahu bahwa suaminya di dunia adalah suaminya di surga dan apabila dia belum menikah maka di mana suaminya?

Jawabannya: Sebagaimana dikatakan Syaikh Utsaimin rahimahullah: Jika dia belum pernah menikah maka yang dimaksud yang lebih baik dari suaminya adalah suami yang telah ditentukan untuknya jika dia masih hidup, adapun jika dia pernah menikah maka yang dimaksudkan yang lebih baik dari suaminya yakni lebih baik dalam sifatnya di dunia karena pergantian adalah dengan mengganti zatnya sebagaimana jika kita menukar seekor kambing dengan unta misalnya, begitu juga dengan menggantikan sifatnya sebagaimana seandainya saya berkata kepada anda (semoga Allah mengganti kekufuran orang ini dengan keimanan, begitu pula seperti dalam firman Allah Ta’ala:

ويوم تبدل الأرض غير الأرض والسماوات

"(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa" (Qs. Ibrahim 48).

Maksudnya buminya tetap bumi yang sama, akan tetapi dibentangkan dan langit pun tetap langit yang sama akan tetapi dibelah. Wallahu a’lam bis-shawab.

(sumber : http://www.voa-islam.com/islamia/konsultasi-agama/2010/03/30/4559/siapakah-suami-bagi-wanita-penghuni-surga